Opini oleh Alvin Lim, SH,MH, MSc, CFP- Advokat LQ Indonesia Lawfirm
Jakarta, WartaHukum.com - Apakah kita harus memilih pejabat yang kurang peduli pada masyarakat? Atau pejabat dengan latar belakang yang meragukan, termasuk lingkungan pertemanan yang tidak jelas dan kepedulian yang dipertanyakan?
Banyak yang bertanya tentang pendapat saya terkait Pilkada Jawa Tengah. Dalam podcast ini, saya ingin menyampaikan opini pribadi saya. Perlu digarisbawahi, pendapat ini tidak bertujuan untuk mencemarkan nama baik atau memfitnah siapa pun, tetapi murni berdasarkan pandangan saya. Teman-teman bebas setuju atau tidak.
Dalam berita yang dimuat oleh Detik.com, Presiden Jokowi ditanya soal dukungannya terhadap pasangan Ahmad Lutfi dan Yasin dalam Pilkada Jawa Tengah. Jokowi menyebut bahwa hubungannya dengan Ahmad Lutfi sudah terjalin lama, bahkan menyebut mereka sahabat. Pasangan calon nomor urut dua ini, yang terdiri dari Ahmad Lutfi dan Tasiasin, diketahui melakukan kampanye keliling di Banyumas menggunakan kendaraan jenis Hartop, didampingi oleh Jokowi. Kehadiran Jokowi menarik perhatian warga, yang berbondong-bondong meminta foto bersamanya.
Namun, ada pertanyaan kritis di balik dukungan ini. Apakah hubungan pertemanan yang dekat dengan penguasa menjadi faktor penting dalam menaiki jabatan tinggi seperti Kapolda? Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya praktik kolusi dan nepotisme. Jokowi sendiri mengakui bahwa dukungannya karena persahabatan lama, yang menimbulkan tanda tanya mengenai integritas proses politik di Pilkada ini.
Luthfi yang kini telah mundur dari posisinya sebagai Kapolda, didukung untuk maju sebagai gubernur. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena kedekatannya dengan penguasa dianggap sebagai alasan utama pencalonannya. Kita perlu waspada terhadap praktik semacam ini. Seharusnya, pejabat dipilih berdasarkan integritas dan kapasitas, bukan sekadar relasi politik.
Lihat saja kasus-kasus sebelumnya, di mana pejabat yang berasal dari institusi kepolisian seringkali berakhir dengan skandal. Contohnya adalah Ketua KPK, Firli Bahuri, yang berasal dari Polri sebagai mantan Kapolda Sumatera. Firli terlibat dalam berbagai kontroversi, termasuk tuduhan pemerasan terhadap koruptor. Lalu ada Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, yang terlibat dalam kasus pembunuhan berencana, dan ditemukan memiliki aset senilai ratusan miliar dari dugaan bisnis ilegal. Demikian juga dengan Teddy Minahasa, yang terjerat kasus narkoba.
Kejadian-kejadian ini mencerminkan banyaknya oknum bermasalah di institusi kepolisian. Namun, pemerintah dan penguasa tampaknya masih terus mengangkat pejabat dari latar belakang yang serupa.
Saya juga ingin membagikan pengalaman pribadi terkait Ahmad Lutfi. Ketika beliau masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Tengah, saya pernah melaporkan informasi tentang tiga lokasi judi di wilayahnya. Saya mengirimkan berita tersebut pada 17 Juni 2023, namun tidak mendapat balasan. Bahkan, kontak saya akhirnya diblokir, menunjukkan sikap tidak peduli terhadap masukan dari masyarakat.
Apakah tipe pemimpin seperti ini yang kita inginkan sebagai gubernur? Seseorang yang memilih untuk mengabaikan masyarakat dan hanya memikirkan karirnya sendiri? Pilihan ada di tangan kita.
Jika pejabat tidak peduli dengan rakyatnya, apa jadinya masa depan pemerintahan? Contoh konkret, ada tiga lokasi judi di wilayah Jawa Tengah saat Ahmad Lutfi menjabat sebagai Kapolda, tetapi tidak diurus. Ini peringatan bagi kita. Jika pejabat seperti ini tidak peduli pada masalah masyarakat, bagaimana nanti saat dia menjabat sebagai gubernur? Kita harus hati-hati memilih pemimpin. Seharusnya pejabat dipilih untuk melayani rakyat, bukan demi kepentingan pribadi atau korupsi.
Saya punya pengalaman pribadi. Ketika saya mengirimkan informasi terkait lokasi judi kepada Ahmad Lutfi pada 17 Juni 2023, pesan saya tidak direspons. Bahkan, nomor saya kemudian diblokir. Ini menunjukkan sikap tidak peduli terhadap masukan masyarakat. Jika pejabat tahu ada kejahatan dan tidak bertindak, patut diduga ada perlindungan terhadap kejahatan tersebut. Biasanya, perlindungan seperti ini terjadi jika ada imbalan tertentu.
Selain itu, ada rumor terkait Ahmad Lutfi yang memiliki hubungan khusus dengan seorang wanita bernama Vanessa Nabila, seperti dilaporkan oleh beberapa media. Vanessa membantah tuduhan ini, tetapi muncul pertanyaan besar ketika dia mengakui bahwa mobil mewah yang digunakannya adalah milik Ahmad Lutfi. Dia mengklaim bahwa mobil tersebut hanya dipinjamkan. Logikanya, apakah mungkin seseorang meminjamkan mobil mewah kepada orang yang hanya “kebetulan kenal”? Ini patut dicurigai.
Gaji seorang Kapolda tentu tidak sebanding dengan kemampuan membeli mobil mewah, apalagi jika dikaitkan dengan rumor memiliki wanita simpanan. Kasus seperti ini mengingatkan kita pada kasus Ferdy Sambo yang juga sempat dikabarkan memiliki hubungan serupa. Pola semacam ini sering muncul di kalangan pejabat tinggi yang memiliki banyak uang, dan akhirnya digunakan untuk hal-hal pribadi.
Ini adalah opini pribadi saya, dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28 tentang kebebasan berpendapat. Pilihan ada di tangan Anda, tetapi kita harus waspada terhadap calon pemimpin seperti ini.
Perlu diingat, belakangan ini banyak mantan pejabat kepolisian ditempatkan di posisi strategis. Contohnya Muhammad Iriawan, yang dikenal sebagai Iwan Bule, kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, meskipun kinerjanya di PSSI dinilai buruk. Bahkan, ia pernah dikaitkan dengan bandar judi besar. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas judi online.
Jika pemerintah benar-benar serius, mereka tidak hanya memblokir situs judi, tetapi menangkap dalang utama di baliknya. Sayangnya, yang sering ditangkap hanya figur-figur kecil seperti selebgram, sementara pelindung besar mereka tetap aman. Jenderal-jenderal yang melindungi bisnis ini adalah bukti nyata bahwa hukum terkesan hanya tegas pada level bawah.
Lebih parah lagi, kejaksaan juga terlibat. Jaksa Agung sendiri pernah mengakui bahwa ribuan anggota kejaksaan terlibat judi online. Ketika ditanya, ia menyebutnya hanya "iseng". Bagaimana mungkin aparat penegak hukum yang melanggar hukum sendiri bisa diandalkan untuk memberantas kejahatan? Bermain judi melanggar Pasal 303 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara. Namun, pelanggaran ini seolah dianggap remeh.
Ketidakseriusan ini tampak jelas dalam kasus lain, seperti kasus timah yang menyeret Tom Lembong. Kejaksaan Agung terkesan pilih kasih, hanya berani menindak yang tidak memiliki kekuasaan besar. Namun, saat berhadapan dengan pihak kuat, tindakan mereka justru terhenti.
Realita ini menunjukkan bahwa banyak hal buruk di balik layar yang sering ditutupi. Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam menyikapi informasi dan tidak menelan mentah-mentah apa yang disampaikan media.
Terima kasih, dan salam Cerdas Hukum.
(Red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar