Minggu, 19 Desember 2021

LBH Aliansi Muda Keadilan Adakan Diskusi Dengan Ikatan Mahasiswa Magister Hukum UI Tentang Otsus Papua

 




Jakarta, WartaHukum.com - Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Muda Keadilan bekerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia mengadakan Diskusi Nasional melalui Webinar dengan tema "Perjalanan Otonomi Khusus Papua: Ilusi atau Solusi", Kamis (16-12-2021)


Kegiatan tersebut diikuti ratusan peserta dari berbagai latar belakang, ada mahasiswa, para pemuda dari organisasi kepemudaan, masyarakat umum, serta perwakilan masyarakat Papua. 


Diskusi Nasional tersebut dimulai dengan Opening Speech dari H. Rendhika Deniardy Harsono, BSBA.,MSc sebagai Ketua Dewan Pembina Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Muda Keadilan, sebagai Pematik Diskusi. Pria yang akrab disapa Bang Rendhika ini sampaikan  latar belakang dari diangkatnya tema yang diambil.


"Karena Inti dari pelaksanaan Otonomi khusus secara umum adalah upaya untuk memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan Otonomi khusus. Dengan demikian, tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi khusus dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara keseimbangan fiskal secara Nasional," jelasnya.


Menurutnya, dalam perjalanan otonomi khusus selama hampir 20 Tahun ini, apakah telah melindungi dan menjujung harkat, martabat  serta memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum.


"Tanggal 19 juli 2021, Pemerintah keluarkan UU No. 02 Tahun 2021,  Mengenai Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU. No. 2 Tahun 2021 tersebut merupakan ketentuan yang mengubah beberapa pasal dalam UU. No. 21 tahun 2001 diantaranya mengatur mengenai kewenangan Provinsi Papua, penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Perubahan dan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja Provinsi Papua, perekonomian provinsi Papua serta ketentuan lainnya," papar Rendhika.


Lanjut dia, "Berdasar penjelasan-penjelasan tersebut, maka perlu bersama-sama untuk kita kaji dan melihat berdasarkan hasil yang ada apakah benar otonomi khusus ini menjadi lentera bagi Papua saat ini atau kah hanya menjadi sebuah mimpi dalam mewujudkan pembagunan yang sejahtera tentunya dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua".

    

Ketua IMMH FH UI, Muh. Nur Isra S.H., turut memberikan kata sambutan, sebagai perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Indonesia. Kemudian Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,M.H. sebagai Keynote speech, Prof. Jimly memberi penjelasan bahwa Papua memiliki nilai sejarah yang panjang saat bergabung dengan Indonesia melalui Konfrensi Meja Bundar dan akhirnya, pada 31 Desember 1962, kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua dimulai, di bawah pengawasan PBB. Bendera Belanda juga diganti dengan bendera sang Saka Merah Putih. Tanggal 1 Mei 1963, Papua diberikan sepenuhnya kepada Indonesia. 


"Untuk menjawab tema Diskusi Nasional kali ini kita harus membandingkannya dengan daerah – daerah lain yang telah diberikan otonomi khusus oleh Pemerintah Pusat seperti Aceh. Hal ini agar pertanyaan Perjalanan Otonomi Khusus Papua : “Ilusi atau Solusi” dapat terjawab," kata Prof. Jimly.


Pemaparan materi dipandu oleh Adi Kurniawan S.H. selaku Moderator dan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Muda Keadilan. Untuk pemaparan pertama disampaikan oleh Dr. H. Syamsurizal, S.E., M.M. selaku anggota komisi II DPR RI Fraksi PPP.


"Berdasarkan banyak data terkait perjalanan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun,  sudah 144 Triliun  yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga dana yang begitu besar harus dirasakan dampak positifnya untuk kesejahteraan Masyarakat Papua," ucapnya.

 

Valentinus Sudarjanto Sumito selaku Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOP Kemendagri RI memberikan pemaparan bahwa Pemerintah Pusat sangat memperhatikan Saudara – Saudara Kita di Papua dengan mengeluarkannya UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.


"Selain itu, sepanjang tahun 2020, Provinsi Papua mendapat alokasi anggaran pendidikan Rp 1,62 triliun dari total dana Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 5,29 triliun. Provinsi Papua Barat menerima sekitar Rp 470 miliar dari total dana Otonomi Khusus Papua Bara senilai Rp 1,7 triliun. Salah satu penggunaan dana Otonomi Khusus  tersebut ditujukan untuk peningkatan sektor pendidikan masyarakat di Tanah Papua yang diharapkan mampu meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada," ungkapnya.


Beliau juga menyampaikan bahwa Kementerian Dalam Negeri sangat terbuka lebar untuk berdiskusi terkait dengan Perjalanan Otonomi Khusus Papua dan akan menjalankan amanat dari Bapak Presiden untuk selalu memperhatikan mereka yang berada di Papua.


Emanuel Gobay selaku Direktur LBH Papua dan merupakan Orang Asli Papua, dalam Diskusi kali ini membawa aspirasi rakyat Papua.


"Pemerintah Pusat di Jakarta tidak ada satupun aspirasi rakyat Papua yang diterima dalam Otonomi Khusus Papua. Pelanggaran HAM masih terjadi. Seharusnya Pemerintah Pusat lebih memikirkan lagi Mayarakat Papua karena kami juga adalah orang Indonesia," bebernya.


Kemudian Ainul Yaqin, S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Nasional Angkatan Muda Kabah menanggapi bahwa dana Otonomi Khusus tersebut harus dioptimalkan untuk Masyarakat Papua.


"Apakah cita-cita Otonomi Khusus ini telah sampai ke masyarakat Papua? karena jika tidak, maka Otonomi Khusus ini dianggap belum optimal dalam memberikan kesejahteraan bagi Masyarakat Papua," imbuhnya.


Selanjutnya Denny Felano, S.H. selaku Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Muda Keadilan memberikan tanggapan bahwa adanya kontradiksi pemaparan yang disampaikan oleh Pemerintah Pusat dengan LBH Papua tersebut, akan tetapi niat baik dari Pemerintah Pusat yang tertuang dalam Undang-Undang No. 02 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tersebut harus kita liat juga dengan objektif, dan apa yang telah disampaikan oleh LBH Papua sebagai perwakilan masyarakat Papua juga harus kita dengarkan aspirasinya, sehingga Pemerintah Pusat dan masyarakat Papua dapat duduk bersama untuk memajukan masyarakat Papua, agar setara dengan Provinsi – Provinsi lain di Indonesia, dan untuk mengejar ketertinggalannya. 


“Kita sebagai bangsa Indonesia jangan sampai termakan isu – isu yang tidak bertanggung jawab, sehingga dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Banyak orang – orang yang tidak bertanggung jawab, ingin mengadu domba antara masyarakat Indonesia pada umumnya dengan Masyarakat Papua. Masyarakat Papua adalah saudara – saudara kita yang juga wajib menikmati semua dampak positif yang di rasakan oleh Provinsi lainnya. NKRI merupakan harga mati yang harus kita pegang teguh dan Masyarakat Papua wajib kita rangkul karena merupakan bagian dari NKRI. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua serta Masyarakat Papua harus bersinergi dengan baik dengan manfaatkan peluang Otonomi Khusus bagi Papua ini, sebagai jembatan menuju kesuksesan dan kesejahteraan bagi Masyarakat Papua," ujarnya.


IMMH FH UI diwakili oleh M. Faiz Putra Syanel, S.H. selaku Kabid Kastrad IMMH menanggapi bila selama 20 tahun terakhir, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan dana yang begitu besar sebagaimana telah disampaikan oleh Dr. H. Syamsurizal, S.E., M.M. selaku anggota komisi II DPR RI Fraksi PPP untuk Provinsi Papua dan Papua Barat.


"Dana Otonomi Khusus tersebut digelontorkan Pemerintah dengan tujuan mencapai kesejahteraan masyarakat di Papua dan mengejar ketertinggalannya dari daerah lain di Indonesia. Sayangnya, pelaksanaan dana otonomi khusus sejak tahun 2002 tersebut belum banyak menghasilkan pencapaian yang signifikan. Tercermin dari evaluasi penggunaan dana otsus dalam kesenjangan pendidikan. Tingkat buta huruf dan partisipasi murid usia anak sekolah yang bersekolah selama 10 tahun pertama pelaksanaan dana otsus memang mengalami perbaikan. Namun tetap ada kesenjangan yang tinggi," tutup M. Faiz Putra Syanel S.H. 


("et")

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top